Sabtu, 22 Februari 2014

Warung Rawon Pak Jenggot Jl Simpang Kawi, Klojen, Kota Malang

Gara-gara suara keras adukan gelas, sejak itu masyarakat tahu ada sebuah warung rawon di Jalan Simpang Kawi. Sejak 1976, warung rawon ini didirikan pasangan suami istri Rajid (alm) dan Sutani (alm). Di tangan anaknya, Purwati, resep rawon warisan ortunya tetap dipertahankan.  


Pasangan suami istri Rajid (alm) dan Sutani (alm) mengawali warung rawonnya di depan rumah tua bangunan Belanda, pada 1976. Warungnya sangat sederhana. Terbuat dari triplek yang berukuran tidak lebih dari 3 meter x 3 meter.
Sebelum dikenal sebagai Warung Rawon Pak Jenggot, warung tersebut dulu lebih dikenal dengan sebutan klithik-klithik. Sebutan tersebut karena pembuat minuman mengaduk minuman yang ada di dalam gelas dengan keras. Sehingga suara yang ditimbulkan pun terdengar sampai ke Jl Raya Kawi. ”Dulu jalannya sepi. Jadi, suara orang mengaduk minuman di gelas terdengar sampai di depan,” jelas Purwati, anak pemilik warung, yang kini mengelola warung rawon ini.
rawonjenggotLAPSUSDari suara adukan minuman di gelas sehingga menimbulkan suara keras yang kerap didengar warga sekitar. Saat itulah, orang-orang mulai tahu di Jl Simpang Kawi ada warung makan. Para tamu pun banyak berdatangan karena penasaran dengan suara orang mengaduk minuman. Hingga mereka pun mulai tahu penjual makanan tersebut berjenggot.
Sejak saat itulah orang mulai menyebut dengan sebutan rawon Pak Jenggot. Walau menu yang dihidangkan di warung tersebut bukan hanya rawon. Namun juga nasi campur, soto daging, dan aneka ragam lauk. ”Dulu saya sering bantu. Namun, sempat berhenti karena ada pekerjaan menjahit,” kata Purwati.
Hingga tahun 2006, Rajid meninggal dunia. Praktis warung pun hanya dikelola oleh Sutani (alm). Dengan dibantu Purwati, warung pun tetap buka. Dengan menggunakan resep racikan Sutani, ibunya, warung pun masih tetap ramai pengunjung. Satu lagi ciri khas warung ini adalah mendatangkan bahan baku kluwak dia datangkan langsung dari Bali. Ada orang yang sejak dulu memasok bahan baku ke warung Pak Jenggot hingga saat ini. Bahkan, sejak Rajid meninggal, banyak yang menyebut dengan Warung Bu Jenggot. ”Terserah menyebutnya warung apa. Kami hanya ingin mempertahankan ciri khas masakan kami,” jelas wanita 53 ini.
Hingga tahun 2012, Sutani meninggal dunia. Sejak saat itu warung kembali terbengkalai. Tidak ada yang mengelola warung tersebut. Karena itulah Purwati pun berinisiatif untuk meneruskan usaha orang tuanya. Dengan melibatkan anak dan para pembantu orang tuanya, warung pun mulai buka.
Menunya pun juga sama. Cara memasaknya pun juga sama. Lokasi untuk berjualan juga sama di depan rumah tua yang mereka sewa. Hingga warung pun mulai banyak dipadati pengunjung. Akibatnya, pembeli pun harus antre sampai 30 menit lebih hanya untuk mencicipi makanan warung Pak Jenggot.
Karena semakin banyak pelanggannya, Purwati yang dibantu dengan tiga anak dan Sugito suaminya, menyiapkan tambahan tempat duduk, tenda  dan meja. Tempat duduk, meja maupun tenda tersebut bantuan dari para pelangganya. Kini warung Pak Jenggot pun memiliki 11 meja di luar meja yang ada di dalam warung. ”Saya sekarag dibantu anak dan suami, karena pelanggannya semakin banyak,” jelas Purwati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar