Aku terbangun seperti biasa. Menatap handphone beberapa lama lalu melirik diam-diam ke arah jam. Menatap langit-langit kamar yang sama. Letak lemari, meja belajar, dan rak buku juga masih sama. Tak ada yang berbeda di sini. Aku masih bernapas, jantungku masih berdetak, dan denyut nadiku masih bekerja dengan normal. Memang, semua terlihat mengalir dan bergerak seperti biasa, tapi apakah yang terlihat oleh mata benar-benar sama dengan yang dirasakan oleh hati?
Mataku berkunang-kunang, pagi tadi memang sangat dingin. Aku menarik
selimut dan membiarkan wajahku tenggelam di sana. Dan, tetap saja tak
kutemukan kehangatan, tetap mengigil— aku sendirian. Dengan kenangan
yang masih menempel dalam sudut-sudut luas otak, seakan membekukan
kinerja hati. Aku berharap semua hanya mimpi, dan ada seseorang yang
secara sukarela membangunkanku atau menampar wajahku dengan sangat
keras. Sungguh, aku ingin tersadar dari bayang-bayang yang terlalu
sering kukejar. Sekali lagi, aku masih sendiri, bermain dengan masa lalu
yang sebenarnya tak pernah ingin kuingat lagi.
Sudah tanggal 27. Seberapa pentingkah tanggal itu? Ya... memang tidak
penting bagi siapapun yang tak mengalami hal spesial di tanggal dua puluh tujuh. Kita masuk ke bulan Januari. Bulan yang baru. Harapan baru. Mimpi yang
baru. Cita-cita baru. Juga kadang, tak ada yang baru. Aku hanya ingin
kautahu, tak semua yang baru menjamin kebahagiaan. Dan, tak semua yang
disebut masa lalu akan menghasilkan air mata. Aku begitu yakin pada hal
itu, sampai pada akhirnya aku tahu rasanya perpisahan. Aku tahu rasanya
melepaskan diri dari segala hal yang sebenarnya tak pernah ingin
kutinggalkan. Aku semakin tahu, masa lalu setidaknya selalu jadi sebab.
Kamu, yang dulu kumiliki tak lagi bisa kugenggam dengan jemari.
Kita berpisah, tanpa alasan yang jelas, tanpa diskusi dan interupsi.
Iya, berpisah, begitu saja. Seakan-akan semua hanyalah masalah sepele,
bisa begitu mudah disentil oleh satu hentakkan kecil. Sangat mudah,
sampai aku tak benar-benar mengerti, apakah kita memang telah
benar-benar berpisah? Atau dulu, sebenarnya kita tak punya keterikatan
apa-apa. Hanya saja aku dan kamu senang mendengungkan rasa yang sama,
cinta yang dulu kita bela begitu manis berbisik. Lirih... dingin...
memesona... Segala yang semu menggoda aku dan kamu, kemudian menyatulah
kita, dalam rasa (yang katanya) cinta.
Aku mulai berani melewati banyak hal bersamamu. Kita habiskan waktu,
dengan langkah yang sama, dengan denyut yang tak berbeda, begitu
seirama... tanpa cela, tanpa cacat. Sempurna. Dan, aku bahagia. Bahagia?
Benarkah aku dan kamu pernah merasa bahagia? Jika iya, mengapa kita
memilih perpisahan sebagai jalan? Jika bahagia adalah jawaban, mengapa
aku dan kamu masih sering bertanya-tanya? Pada Tuhan, pada manusia
lainnya, dan pada hati kita sendiri. Kenapa harus kau ubah mimpi menjadi
api? Mengapa kau ubah pelangi menjadi bui? Mengapa harus kauciptakkan
luka, jika selama ini kaumerasa kita telah sampai di puncak bahagia?
Kegelisahanku meningkat, ketika aku memikirkanmu, ketika aku memikirkan
pola makanmu, juga kesehatanmu. Aku bahkan masih mengkhawatirkanmu,
masih diam-diam mencari tahu kabarmu, dan aku masih merasa sakit jika
tahu sudah ada yang lain, yang mengisi kekosongan hatimu. Seharusnya,
aku tak perlu merasa seperti itu, karena kau masa lalu, karena kita tak
terikat apa-apa lagi. Benar, akulah yang bodoh, yang tak memutuskan diri
untuk segera berhenti. Aku masih berjalan, terus berjalan, dengan
penutup mata yang tak ingin kubuka. Semuanya gelap, tanpamu... kosong.
Ternyata, hari berlalu dengan sangat cepat. Sudah setahun, dan sudah tak
terhitung lagi berapa frasa kata yang terucap untukmu di dalam doa.
Salahku, yang terlalu perasa. Salahku, yang mengartikan segalanya dengan
sangat berani. Kupikir, dengan ikuti aturanku, semua akan semakin
sempurna. Lagi dan lagi, aku salah, dan kamu memilih untuk pergi. Ini
juga salahku, karena tak mengunci langkahmu ketika ingin menjauh.
Setelah perpisahan itu, hari-hari yang kulalui masih sama. Aku masih
mengerjakan rutinitasku. Dan, aku mulai berusaha mencari penggantimu.
Mereka berlalu-lalang, datang dan pergi, ada yang diam berlama-lama, ada
yang hanya ingin singgah. Semua berotasi, berputar, dan berganti.
Namun, tak ada lagi yang sama, kali ini semua berbeda. Tak ada kamu yang
dulu, tak ada kita yang dulu. Ya, kenangan berasal dari masa lalu tapi
tetap punya tempat tersendiri di hati yang sedang bergerak ke masa
depan.
Hidupku tak lagi sama, dan aku masih berjuang untuk melupakan sosokmu
yang tak lagi terengkuh oleh pelukkan. Padahal, aku masih jalani hari
yang sama, aku masih menjadi diriku, dan jiwaku masih lekat dengan
tubuhku. Tapi, masih ada yang kurang dan berbeda. Kesunyian ini
bernama... tanpamu.
Jika jemari ditakdirkan untuk menghapus air mata, mengapa kali ini aku
menghapus air mataku sendiri? Di manakah jemarimu saat tak bisa
kauhapuskan air mataku?
27 januari 2013-27 Januari 2014
Selamat (gagal) satu tahun.
Jika kau rindukan kita yang dulu, aku pun juga begitu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar